Kolom Dekan

Bagaimana dengan mahasiswa lainnya, yang sebagian besar tidak aktif di organisasi kemahasiswaan, apakah mereka tidak mempunyai hak untuk menjadi orang yang sukses? Hasil penelitian yang Penulis lakukan di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Purwokerto menunjukkan bahwa mahasiswa yang aktif di organisasi kemahasiswaan kurang lebih sepuluh persen dari keseluruhan mahasiswa. Ini artinya sembilan puluh persen mahasiswa tidak memiliki hak untuk menjadi mahasiswa sukses jika definisi sukses adalah memiliki kemampuan dalam membagi waktu antara kegiatan kemahasiswaan dengan kegiatan akademik.

Kegelisahan ini yang mendorong Penulis untuk mendalami persoalan ini, apa yang dimaksud dengan mahasiswa yang sukses dan apa indikatornya? Pertanyaan tersebut bersifat ontologis sehingga harus menjawab hakekat dari kesuksesan itu sendiri dan apakah semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi seorang yang sukses?

Setelah Penulis membaca buku Andrie Wongso (2006), “15 Wisdom Success” dan menyimak perjalanan hidup beliau, ternyata sukses bukan milik orang-orang tertentu saja, sukses bisa menjadi milik siapapun yang memiliki kesadaran dan kemauan untuk berjuang dengan kesungguhan hati. Dari pendapat tersebut berarti semua mahasiswa pada hakekatnya memiliki peluang yang sama untuk menjadi mahasiswa yang sukses. Kunci sukses dalam hal ini berkaitan dengan mentalitas seseorang. Mentalitas yang mau berubah, dinamis, progressif dan konsisten pada hal-hal yang positif.

Seorang mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan Sekolah Menengah Atas favorit dan ketika masuk ke Perguruan Tinggi memiliki prestasi tinggi, ia tergolong anak yang pintar. Kemudian saat perkuliahan berlangsung, dia menjadi orang yang biasa-biasa saja. Dia hanya senang dengan kepintarannya, malas belajar, dan mengerjakan tugas apa adanya. Dia tidak sungguh-sungguh untuk meningkatkan prestasi dan mengembangkan dirinya. Potensi yang dimilikinya tidak dikembangkan dengan sebaikbaiknya. Dia gagal dalam studinya dan sekaligus juga gagal dalam menjalani kehidupan setelah selesai kuliah. Sebaliknya, ada seorang mahasiswa ketika masuk Perguruan Tinggi, dia berasal dari keluarga yang berekonomi lemah dan prestasinya di Sekolah Menengah Atas biasa-biasa saja. Namun, berkat kesungguhan dan kerja kerasnya, dia berhasil meraih prestasi yang bagus dan hubungannya pun dengan sesama temannya cukup harmonis serta sukses setelah menyelesaikan studinya.
Mentalitas yang perlu dibangun untuk menjadi mahasiswa yang sukses, menurut Erich Fromm (1976), Seorang Psikoanalisis modern dari Frankfurt German, adalah mentalis menjadi (to be). Dalam buku “To Have or To Be”, Fromm membedakan karakter manusia yang sangat mendasar antara karakter “to have” (memiliki) dan karakter “to be” (menjadi). Para mahasiswa dari karakter “to have”, ia datang ke kampus mendengarkan kuliah, mencatat setiap kata yang diucapkan dosen dalam buku catatannya, menghapal apa yang disampaikan dosen, dan dia lulus dalam ujian.

Isi dari perkuliahan yang didapatkannya tidak menjadi bagian dari sistem pemikiran yang ada dalam dirinya. Ia hanya menerima dan menyimpan dalam memorinya, tanpa mengadakan pengembangan dan pendewasaan dalam cara berpikirnya. Mahasiswa dan isi kuliah tetap saja asing satu sama lain. Mahasiswa berpegang teguh terhadap apa yang telah dipelajarinya, baik dengan cara menghapalnya atau memelihara catatan kuliah, mahasiswa tidak menciptakan sesuatu yang baru. Sementara mahasiswa yang berkarakter “to be” adalah mahasiswa yang memikirkan masalah-masalah yang akan dibicarakan dalam perkuliahan dan dalam pikiran mahasiswa telah mempunyai pertanyaan-pertanyaan yang akan di dialogkan dalam perkuliahan. Mereka terlibat dalam topik yang didiskusikan dan tertarik untuk membahasnya. Mahasiswa bukan merupakan wadah yang pasif, melainkan menyimak, menerima dan menanggapi secara aktif dan produktif. Kalaupun mencatat, mahasiswa mencatat dengan menggunakan konsep untuk diingat dan didialogkan dengan data-data lain yang ada hubungannya dengan tema yang dibahas. Mentalitas “to be” (menjadi), menuntut mahasiswa untuk terus menerus belajar dengan cara memanfaatkan seluruh potensi yang diberikan oleh Allah swt. Belajar tidak diartikan secara sempit hanya menjadi seorang yang kutu buku saja, tetapi mengandung makna yang luas. Belajar bisa dari buku, lingkungan, pengalaman, dan bahkan dari alam semesta. Konsep belajar ini sama maknanya dengan perintah Allah kepada Nabi Muhammad ketika pertama kali menerima wahyu, yakni “iqra”. Perintah ayat ini tidak disebutkan secara langsung obyek yang harus dibaca, tetapi bersifat general. Artinya kita bisa membaca apa saja untuk mendapatkan pengetahuan. Justru hal yang terpenting saat kita membaca diarahkan agar bacaan yang kita lakukan diarahkan pada tujuan yang positif yakni dengan menyebut nama Allah.

Pada konteks ini, kita diingatkan oleh Allah bahwa manusia bukanlah makhluk bumi yang bekerja secara naturalis, segala cara bisa dibenarkan. Seperti binatang untuk mendapatkan makanan, dia bisa mengorbankan temannya atau dia mencuri milik tuannya. Manusia dalam merubah dirinya atau dalam mengembangkan mentalitas “to be”-nya harus dilandasi oleh nilai-nilai spiritual yang ada dalam dirinya. Penulis sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Andi Odang ketika memberikan kata pengantar dalam buku Andrie Wongso (2006) bahwa manusia adalah “makhluk spiritual yang sedang mendiami bumi”.
Pernyataan tersebut sejalan dengan konsep Islam yang menjelaskan bahwa manusia secara fitrah (bawaan lahir) sudah memiliki sense keberagamaan (spiritualitas), selain sense curiosity (rasa ingin tahu) dan sense keindahan (seni). Dengan potensi spiritualitas yang ada pada diri manusia (QS. 7:172), secara hakiki manusia sebenarnya memiliki kecenderungan untuk berbuat kebaikan dan dapat mengembangkan dirinya ke arah positif seperti bekerja keras, disiplin, konsisten, jujur dan sebagainya.
Dengan demikian, mahasiswa sukses adalah mahasiswa yang memiliki kemampuan dalam mengelola mentalitas dirinya dari mentalitas yang stagnan, pasif dan kontraproduktif menjadi mahasiswa yang memiliki mentalitas dinamis, progresif dan
konsisten dalam memperjuangkan kebenaran atau hal-hal yang positif. Indikator yang dapat dijadikan alat ukur untuk melihat kesuksesan mahasiswa seperti yang penulis uraikan di atas, terletak pada kemampuan yang dimiliki oleh mahasiswa dalam mengelola dirinya, menjalin komunikasi (relasi) dengan sesama mahasiswa atau dengan orang lain, dan tentunya sebagai makhluk spiritual, kualitas hubungan mahasiswa dengan Tuhannya juga menjadi salah satu indikator kesuksesan mahasiswa. Dengan mengutip pendapat Eloy Zalukhu (2012), mahasiswa yang sukses adalah mahasiswa yang dapat menjalankan secara seimbang tiga pilar kesuksesan yaitu Personal Mastery, Interpersonal Mastery, dan Spiritual Mastery.

Selamat mencoba, semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa dalam menjalani kehidupan ke depan yang lebih cerah dan bermartabat. Tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang positif. Mulailah dari keyakinan, kemauan, dan
keberanian kita untuk berubah.

PUASA MEMOTONG EGO MANUSIA – Prof. Dr. Abdul Basit, M.Ag
Secara fungsional, manusia terdiri dari dua dimensi penting, yakni dimensi ke-Aku-an dan dimensi social. Dimensi ke-aku-an merupakan perwujudan dari manusia sebagai individu yang memiliki karakteristik tersendiri. Tidak ada manusia yang memiliki karakteristik yang sama. Oleh karena itu, dalam komunikasi antar individu, seseorang perlu memahami karakteristik masingmasing individu sehingga mudah untuk berkomunikasi. Kita tidak bisa membandingkan si A dengan si B atau menyamakannya karena masing-masing memiliki karakternya tersendiri.
Kemudian, dimensi social manusia merupakan perwujudan manusia sebagai makhluk social. Ciri alamiah manusia sebagai makhluk social, yakni manusia membutuhkan bantuan dari orang lain dan sekaligus bisa membantu orang lain. Saling membantu inilah yang menjadi ciri pokok manusia sebagai makhluk social.
Di era modern sekarang ini, sifat saling membantu ini, nampaknya mulai luntur dan bahkan semakin menipis. Sikap individualisme, a-sosial, masa bodoh atau cuex telah menjangkiti masyarakat modern sekarang ini. Kita miris mendengar seorang ibu (43 th) dengan 3 anak di Serang Banten, tanggal 20 april 2020 yang lalu meninggal dunia karena kelaparan dan hanya minum air gallon isi ulang selama dua hari. Demikian juga, kita sedih mendengar kisah seorang nenek menjual 3 sendok kepada tetangganya di Magetan Jawa Timur hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Dimana rasa kemanusiaan kita, dimana sifat alamiah kita sebagai makhluk social ditempatkan. Apalagi dalam kondisi pandemi covid-19 ini, hingga pertengahan April saja, sudah ada 1,9 juta orang yang di-PHK dan dirumahkan, tentunya hal ini akan menambah jumlah deretan kemiskinan yang ada di Indonesia semakin banyak. Kondisi yang dialami seorang ibu dan nenek tersebut, bisa terjadi di lingkungan kita sendiri. Oleh karena itu, tengoklah tetangga, saudara, teman, dan anak buah kita, apakah mereka mengalami nasib yang sama dengan ibu dan nenek tersebut.
Mengapa sifat alamiah manusia yang saling membantu itu semakin memudar. Faktor utamanya karena ke-ego-an manusia. dimensi ke-Aku-annya lebih dominan dibandingkan dimensi sosialnya. Manusia merasa bahwa apa yang dimilikinya merupakan hasil jerih payahnya sendiri, merasa dirinya belum cukup untuk membantu orang lain, merasa belum sukses dan berbagai alasan lainnya. Dirinya merasa kurang, kurang dan kurang. Manusia sering lupa bahwa kesuksesan atau apa yang dicapainya hari ini merupakan hasil bantuan dari orang lain. Ada orang-orang yangterlibat di dalamnya, orang tua, saudara, bawahan, tetangga dan bahkan orang lain. Selain itu, manusia terlalu mengikuti hawa nafsu yang bersifat duniawi. Kebutuhan yang seharusnya belum
terlalu penting, misalnya, dipaksakan untuk diadakan, akibatnya besar pasak daripada tiang. Jikamanusia menuruti hawa nafsunya tidak akan merasa puas dan tidak akan merasa cukup. Benar apa yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw “nafsu manusia selalu meronta-ronta untuk dipuasi, bagaikan bayi yang hendak disapih”.
Untuk memutus ke-ego-an manusia, maka Islam mengajarkan manusia untuk kembali kepada ke-fitrahannya yakni berbagi dengan orang lain. Konsep berbagi dalam Islam dikenalkan dengan istilah zakat, infak dan shadaqah. Ketiga konsep ini memungkinkan semua orang, kaya dan miskin, bisa melakukannya. Jika bapak/ibu/sdr mampu dan memenuhi nishabnya, wajib untuk
mengeluarkan zakat. Karena di dalam harta kita, ada hak orang lain yang harus dipenuhi.Tetapi jika bapak/ibu/sdr belum mampu, maka infak dan shadaqah sebagai alternatifnya. Orang yang mau berbagi tidak akan merasa rugi atau berkurang hartanya. Bahkan tidak ada sejarahnya orang yang berbagi itu mengalami kemiskinan. Allah berjanji dalam surat al-Baqarah ayat 261: “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui”. Ada pengalaman menarik dari jamaah tentang shadaqah “dia mewakafkan sepeda motornya ke salah satu panti
asuhan di Purwokerto, kemudian dalam waktu yang relative tidak lama, Allah menggantinya dengan sebuah mobil dan satu motor”. Itulah satu contoh bahwa Allah melipatgandakan bagi orang yang mau bershadaqoh.
Selain konsep berbagi, Islam juga mengajarkan umatnya untuk melakukan puasa,agar bisa merasakan penderitaan orang yang miskin dan sekaligus bisa mengekang nafsu keserakahan dan ketidakpuasan manusia. Ego manusia yang tidak peduli pada orang lain dan ego manusia yang suka mengikuti hawa nafsu akan dikendalikan apabila manusia betul-betul memahami maksud Tuhan dalam memerintahkan umatnya berpuasa.
Puasa yang sedang kita jalankan saat ini merupakan momentum yang sangat tepat. Di tengah kondisi pandemic covid 19, banyak orang yang tidak mampu dan membutuhkan uluran tangan kita, mari kita manfaatkan kesempatan ini untuk kita berbagi dan mengendalikan nafsu yang ada dalam diri kita. Semoga Allah memberikan kekuatan dan kemudahan pada kita sekalian. Aamiin