
Agama dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Dakwah (Selasa, 18/3) menyelenggarakan academic colloquy bertema Agama, Dakwah, dan Pengembangan Masyarakat. Acara menghadirkan narasumber Dr. Muskinul Fuad, M.Ag, Dekan Fakultas Dakwah dan Dr. Gregorius Soetomo, SJ, Rohaniawan Gereja Katolik Roma. Isu utama yang diangkat adalah peluang agama menjadi solusi teknologis bagi persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat terutama kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam beberapa kasus menunjukkan pusat kemiskinan dan keterbelakangan diisi oleh kelompok sosial yang masuk kategori taat beribadah. Dalam situasi ini, agama dinilai belum mampu mentransformasikan para pemeluknya untuk bertindak progresif melakukan perubahan sosial.
Kondisi di atas semakin kronis apabila dikaitkan dengan situasi terkini bangsa Indonesia yang belakangan disuguhi pertunjukkan perilaku korupsi yang ugal-ugalan. Semua pelaku korupsi merupakan orang-orang yang beragama yang tidak jarang menampilkan diri sebagai bagian dari kelompok religius. Perilaku yang kontraproduktif dengan nilai-nilai dasar keimanan memunculkan spekulasi bahwa agama dan praktik keagamaan belum mampu mengarakan sepenuhnya kepada para penganutnya untuk berperilaku sesuai ajaran-ajaran yang dimilikinya.
Dr. Muskinul Fuad, M.Ag menandaskan untuk membedakan antara agama dan orang beragama. Agama berisi sekumpulan ajaran yang memberi arah kepada manusia dalam menjalankan kehidupan yang lurus, etis, dan beradab. Sementara orang beragama adalah individu atau kelompok yang berafiliasi kepada agama. “sangat mungkin orang yang beragama memiliki pemahaman yang berbeda terkait dengan ajaran yang diyakininya. Termasuk transformasinya dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku korupsi adalah orang dan dapat berasal dari agama manapun”, jelasnya. Dia menambahkan pemahaman keagamaan yang terbatas atau bahkan kesadaran memanfaatkan agama menjadi modus perilaku korupsi.
Dr. Gregorius Soetomo, SJ menyampaikan pentingnya kolaborasi antarumat beragama untuk menginisiasi solusi atas persoalan-persoalan bangsa. Agama merupakan kekuatan sosial yang dimiliki bangsa Indonesia dan belum sepenuhnya digunakan sebagai pendorong bagi upaya mencapai kesejahteraan sosial. “Agama memiliki spirit yang tidak terbatas dan sangat positif apabila dikoneksikan dengan pembangunan manusia,” jelasnya. Bahkan, agama menurutnya dapat membantu memahami manusia dengan berbagai perilakunya secara konstruktif. Menurtnya, perilaku manusia selalu berada dalam proses “menuju” sehingga dapat diperbaiki, diarahkan, bahkan dirubah sesuai dengan peradaban yang ingin dicapai.
Perilaku korupsi dan kejahatan lain pada dasarnya tidak berkaitan dengan agama. Sebaliknya, para koruptor dan pelaku kejahatan merupakan musuh agama karena dapat dikategorikan menistakan ajaran agama. Kelompok agama memiliki kewajiban untuk terus-menerus menyuarakan perlawanan terhadap korupsi dan kejahatan lainnya untuk menjaga dan memastikan kemanusiaan tetap menjadi nilai penyelenggaraannya. Begitu halnya para pelaku korupsi dan kejahatan yang berdampak terhadap kemanusiaan harus dikutuk dan diberi sanksi sosial seberat-beratnya, apapun agamanya (ATT)