Kolom Dekan
Dekan Fakultas Dakwah UIN Saizu Bersama KPI Dorong Penuntasan Revisi Undang- Undang Penyiaran

Dekan Fakultas Dakwah UIN Saizu Bersama KPI Dorong Penuntasan Revisi Undang- Undang Penyiaran

Seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan paradigma informasi, tantangan utama yang dihadapi masyarakat saat ini adalah membedakan antara fakta dan hoaks. Dalam era digital yang dipenuhi dengan informasi yang berlimpah, keterampilan berfikir kritis menjadi semakin penting. Berfikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis informasi secara obyektif, mengenali kebenaran dari informasi yang disajikan, serta mengidentifikasi manipulasi dan bias yang mungkin ada di baliknya.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam mengawasi konten yang disiarkan melalui media penyiaran dan platform digital. Langkah ini diambil dalam rangka Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP), yang diselenggarakan di sebuah restoran di Kecamatan Baturaden, Banyumas pada Kamis (18/4/2024).

Menurut Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, KPI bertindak sesuai dengan amanat Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang menugaskan KPI untuk melakukan literasi media. Mengingat bahwa media penyiaran tidak netral secara nilai, penting bagi masyarakat untuk memiliki kemampuan dalam menafsirkan konten yang disajikan oleh media penyiaran, agar dampak negatifnya dapat diminimalkan.

Perkembangan platform digital juga telah menyebabkan program-program dan tayangan dari media penyiaran tersedia di platform digital dan media sosial. Oleh karena itu, kerjasama dalam pengawasan diperlukan untuk memastikan bahwa konten yang disajikan mampu memberikan edukasi dan hiburan tanpa merusak generasi bangsa.

Menurut Dr. Muskinul Fuad, M.Ag., Dekan Fakultas Dakwah UIN Saizu Purwokerto, dalam konteks ini, penting untuk menyoroti pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus diajukan dalam menghadapi informasi yang ditemukan di dunia digital. Siapa yang memproduksi informasi tersebut? Apa tujuannya? Bagaimana informasi tersebut diverifikasi? Pertanyaan-pertanyaan ini membantu individu untuk melihat lebih jauh dari sekadar judul yang menarik atau konten yang sensasional, dan mengembangkan kepekaan terhadap potensi kebohongan atau manipulasi.

Selain itu, edukasi tentang keterampilan berfikir kritis perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Sekolah dan lembaga pendidikan harus memainkan peran penting dalam melatih siswa untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas dan kritis. Dengan mengajarkan metode analisis yang sistematis, mengidentifikasi sumber informasi yang dapat dipercaya, dan mengasah kemampuan untuk mengenali bias serta manipulasi, generasi masa depan dapat menjadi garda terdepan dalam melawan penyebaran hoaks dan disinformasi.

Selain upaya pendidikan formal, kolaborasi antara pemerintah, media, dan platform teknologi juga diperlukan untuk mengatasi tantangan ini. Pemerintah perlu mendorong regulasi yang mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam penyediaan informasi online, sementara media dan platform teknologi bertanggung jawab untuk meningkatkan kontrol kualitas dan mengurangi penyebaran hoaks di platform mereka. Dengan kerjasama yang kokoh, masyarakat dapat meraih masa depan di mana berfikir kritis bukan hanya keterampilan yang dihargai, tetapi juga diwariskan kepada setiap individu sebagai kebutuhan esensial di era digital.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *