“Watching as Working..”

Oleh Oki Edi Purwoko

Dalam dunia digital, terkadang audiens tak lebih hanya pekerja sukarela yang secara giat mengunggah berbagai data dan konten di internet. Kita adalah pendonor “like”, pembagi data personal tanpa canggung dan pengunggah konten tanpa dibayar.  Dalam digital slavery, seiring aktivitas kita mencari produk dan layanan yang tersedia secara online, maka kita semua, termasuk Mark Zuckerberg sekalipun adalah objek. Tetapi maukah kita tetap kalah?

Setidaknya itu adalah pendalaman pribadi pasca hadir dalam acara diskusi bersama Hanif Suranto, Penulis buku, dosen UMN dan Peneliti Media yang diselenggarakan LPM Saka, Sabtu (3/4/2021).

Polemik perbudakan secara digital ini, mengingatkan kembali kepada konsep klasik ” Watching as Working“ yang cukup popular dalam studi media di masa yang lalu. Ditulis oleh  Sut Jhally and Bill Livant terbit di Journal of Communication, International communication Association (ICA) Volume 3, September 1986.

Jika gaya studi media di masa sebelumnya lebih memfokuskan dirinya kepada konten, efek, dan relasinya dengan audiens, maka studi yang dilakukan Jhally dan Livant ini menempatkan kegiatan menonton sebagai pusat penelitiannya. Dalam pandangan mereka, aktivitas menonton media tidak hanya dipandang sebagai aktivitas value-creating process tetapi juga economic-creating process.

Mengapa Jhally dan Livant berpandangan seperti itu? Argumentasi utamanya adalah dengan melihat fenomena media komersial dengan iklan sebagai penopangnya. Melalui iklan, media mempercepat penjualan suatu produk ke konsumen. Bandingkan keadaan tanpa iklan, maka akan semakin kecil kesempatan produsen bisa menawarkan produknya ke semua lapisan masyarakat. Melalui iklan, produk menjadi lebih cepat popular. Ketika akhirnya dibeli dan dikonsumsi oleh masyarakat, salah satu yang didapat adalah berkurangnya biaya penyimpanan sehingga meningkatkan profit dari produsen.

Media komersial di sisi lain mendapatkan keuntungan dari dua hal, yaitu “biaya sewa” atas perhatian khalayak serta pemberian “akses” produsen kepada konsumennya. Dalam pandangan Jhally-Livant, media secara spesifik menyewakan waktu menonton khalayak atau “watching-time of the audience” kepada para pengiklan. Ketika aktivitas menonton menjadi komoditas, maka media ingin lebih dengan memaksimalkan waktu menonton audiens atau watching extra, sekaligus tanpa memberikan kompensasi dalam rangka meminimalisir cost atau pengeluaran. Jhally-Livant menyamakan kondisi bekerja dengan kegiatan menonton. Sementara pekerja menjual tenaga kerja kepada pemilik modal, penonton menjual watching-power kepada pemilik media.

Digital Slavery

Konsep ini kembali dibicarakan mengingat relevansinya dengan kondisi pada masa sekarang ini. Teknologi seperti big data analysis dan artificial intelligence yang terus berkembang, seiring meningkatnya volume “data pribadi” dan juga interaksi yang kita lakukan secara online, memungkinkan tingkat kontrol dan bahkan manipulasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Konten – konten berupa text, video, gambar, unboxing, review yang dilakukan oleh audiens sendiri (User-generated content) semakin banyak kita jumpai. Media mainstream di sisi lain mendapatkan keuntungan dari konten yang diupload secara sukarela oleh masyarakat. Trending, fyp, komentar fans dan haters memberi insight mengenai apa yang sedang hangat diperbincangkan.

Inilah yang menjadi tantangan ke depan, audiens kini seyognya tidak terlena dengan kemudahan dan kecepatan akses, tetapi ikut berkreasi dengan harapan mendulang keuntungan dalam era digital ini. Banjirnya data dan informasi dimanfaatkan dalam rangka pemahaman yang lebih dalam dan menyeluruh, sekaligus memantik konten dalam bentuk-bentuk yang baru sehingga bisa menjadi alternative bagi masyarakat luas. Terminologi “watching as working” pada akhirnya hadir dalam perspektif yang positif bagi publik.

Penulis adalah Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) IAIN Purwokerto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *