Uncategorized
Mudik: Tradisi dan Adu Gengsi

Mudik: Tradisi dan Adu Gengsi

Lebaran atau iedul fitri bagi masyarakat Islam di Indonesia tidak sekedar hari raya, tetapi mencakup tradisi, selebrasi, dan konstestasi. Sebagai tradisi, mudik secara historis memanjang sejak mulai adanya hubungan binari kota – desa sebagai konsekuensi perubahan cara produksi masyarakat Indonesia. Desa yang sebelumnya merupakan konsentrasi penduduk pada era agrikultur lambat laun mengalami pergeseran setelah Indonesia menerapkan sistem industri dalam pengembangan ekonomi nasional. Kota menawarkan peluang kerja pada sektor formal dalam produksi industri barang dan jasa yang memikat tenaga kerja produktif di desa. Sebelumnya mereka bekerja pada sektor agrikultur meliputi pertanian, perkebunan, dan perikanan yang secara umum hanya cukup memenuhi kebutuhan subsitensi.

Keberadaan industri di kota kemudian memicu urbanisasi dalam skala yang terus berkembang dan berkonsekuensi terhadap menurunnya produktivitas lahan di desa akibat ditinggalkan oleh para pekerjanya. Sejak saat itu, kota dan desa terkoneksi dalam hubungan yang bersifat dikotomis yang kontras seperti modern-tradisional atau maju-tertinggal. Pulang kampung kemudian menjadi istilah yang melekat pada kelompok perantau kota-kota besar yang bekerja pada sektor industri pada saat  masuk musim liburan.

Lebaran iedul fitri menjadi momentum lebaran yang menjadi puncak dalam tradisi masyarakat muslim di Indonesia. Sebagai puncak tradisi, lebaran iedul fitri diselebrasikan secara besar-besaran dan massif oleh masyarakat untuk mempertunjukkan berbagai capaian yang telah diraih. Secara teologis, saling berkunjung dan silaturrahim merupakan 2 wujud ekspresi setelah melaksanakan kegiatan peribadatan puasa selama bulan ramadhan. Namun demikian, dimensi teologis ini mulai mengalami penurunan dan digantikan oleh wujud lain yang secara prinsip tidak memiliki kaitan langsung.

Liburan Konsumtif

Masyarakat memposisikan lebaran iedul fitri sebagai proyeksi utama ekspresi sosial dalam kemasan keagamaan. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap arusutama perilaku produksi misalnya tabungan atau kepemilikan atas barang-barang tertentu. Tidak jarang seorang pekerja menyisihkan penghasilannya dengan tujuan utama merayakan lebaran iedul fitri di kampung halaman. Sebagai perayaan maka pengeluaran dan belanja yang dilakukan bersifat konsumtif dan tidak berkontribusi terhadap peningkatan kualitas kehidupan di masa mendatang.

Bahkan pada beberapa kondisi, lebaran iedul fitri menjadi ajang “adu gengsi” bagi para pemudik di kampung halaman. Mereka mengkontestasikan capaian-capaian di kota untuk memperoleh status “sukses”. Indikator kesuksesan yang paling sederhana adalah kepemilikan barang-barang industri dan aspek-aspek lain yang bersifat material. Hl ini yang kemudian mendorong para pemudik mengusahakan sedapat mungkin mengatribusikan dirinya dengan berbagai barang industri seperti alat tarnsportasi, barang elektronik, dan kepemilikan uang.

Fenomena di atas menunjukkan imaginasi sosial secara umum masih berada pada bentuk-bentuk paling permukaan dan bersifat artifisial dari gerak peradaban maju dan modern. Bentuk ini tidak lepas dari konstruksi “tangan-tangan yang tidak terlihat” (the invisible hand) yang mendorong kemajuan atau modernitas dalam makna yang pragmatis, yaitu konsumsi barang-barang industri. Kondisi ini yang menjadi inti kritik sosial Herbert Marcuse terkait dengan proyek besar dunia mewujudkan manusia satu dimensi (one dimensional man) melalui penundukan-penundukan ideologi dan budaya. Secara kritis, lebaran iedul fitri yang sejatinya merupakan momentum keagamaan dibajak oleh industri dan pemilik kapital besar untuk memperoleh keuntungan. Implikasinya, komunitas muslim kehilangan kedaulatannya atas tradisi dan hari besar keagamaannya (1511).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *